Sabtu, 02 Oktober 2010

KERETA UAP ANDALAN KAKEK...

Marsudi (79) masih ingat betul masa-masa ia menumpang kereta uap berwarna hitam untuk mobilitas pulang-pergi bekerja dari rumahnya di Dusun Glondong, Kasihan, Bantul, menuju Ngabean di Kota Yogyakarta. Transportasi warisan pemerintah kolonial Belanda itu melaju pelan menyusuri rel sambil sesekali membunyikan lonceng dan meninggalkan kepulan asap hitam pekat di belakang; hasil pembakaran kayu dan batu bara bahan bakarnya.

Tahun 1956 itu, Marsudi masih berusia 24 tahun dan baru pertama kali bekerja sebagai pegawai sebuah usaha reklame. "Dulu, pulang-pergi kerja, ya, naik kereta itu. Kalau jalan kaki jauh, andong atau becak ongkosnya mahal," katanya saat ditemui di rumahnya di Glondong, Jumat (1/10).

Kereta api jurusan Yogyakarta-Palbapang kala itu menjadi andalan transportasi warga kebanyakan untuk mobilitas Yogyakarta-Bantul. Pada masa itu, jangankan kendaraan pribadi seperti motor atau mobil, sepeda onthel pun masih merupakan barang mewah. Adapun transportasi umum lainnya, seperti bus, belum berkembang.

Jadilah kereta api sebagai sarana transportasi massal andalan warga kecil seperti Marsudi. "Sudah murah, tepat waktu juga karena setiap jam pasti ada," kata Marsudi yang rumahnya hanya selemparan batu dari bekas Stasiun Winongo, salah satu stasiun di rute Yogyakarta-Palbapang.

Selain andalan transportasi harian, Marsudi juga kerap menggunakan KA saat akhir pekan-sekedar membawa keenam anaknya jalan-jalan ke kota atau mendatangi acara-acara yang digelar Keraton seperti sekaten.

Pengalaman menaiki kereta uap rute pendek di Yogyakarta juga dialami Djauhari (67), warga Serangan, Ngampilan, Yogyakarta. Saat masih duduk di bangku SMP, pada tahun 1955, ia menjadi pelanggan KA dari rumahnya di Kutoarjo, Jawa Tengah, untuk bersekolah di Yogyakarta.

Dari Stasiun Tugu Yogyakarta, ia sambung naik kereta lagi ke Stasiun Ngabean (sekarang menjadi area parkir wisata) untuk menuju sekolahnya di SMP Muhammadiyah. "Biar berdesak-desakan, kereta zaman dulu enak karena selalu tepat waktu," katanya.

Sama seperti Marsudi, Djauhari juga menikmati perjalanannya dengan kereta uap berwarna hitam warisan Belanda. Kenangannya, interior dalam gerbong terbuat dari kayu, termasuk bangku berderet panjang. Pada setiap gerbong juga terdapat petugas rem yang menjaga tuas-tuas rem.

"Kalau petugas mengisi bahan bakar kayu atau batu bara ke dalam tungku, baranya beterbangan ke gerbong penumpang. Sering juga baju jadi bolong-bolong atau rambut terbakar," kata Djauhari sambil tertawa kecil mengingat pengalamannya itu.

Sejak 1971, Djauhari menetap di Serangan yang berjarak 30 meter dari eks-stasiun Ngabean. Mas'ud (41), putra Djauhari, sempat menikmati masa kecil kala stasiun itu aktif hingga dekade 1970-an akhir. "Dulu, sama teman-teman, saya suka ikut naik kereta pengangkut tetes (air perasan tebu) sampai pabrik Madukismo," katanya.

Kini jaringan rel Ngabean (kota)-Palbapang (Bantul)-Sewugalur (Kulon Progo), bersama Ngabean-Pundong (Bantul), dan Yogyakarta-Magelang-Parakan yang bercabang juga ke Ambarawa (Jawa Tengah) tinggal kenangan. Kecuali ruas Ngabean-Pundong dan Palbapang-Sewugalur yang dibongkar penjajah Jepang, jalur yang lain ditutup karena KA kalah bersaing dengan moda transportasi jalan raya.

Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM Kuncoro Harto Widodo mengatakan, KA jarak pendek seperti yang pernah ada di DIY itu, saat ini bisa menjadi alternatif transportasi massal. KA kembali dilirik sebagai solusi atas transportasi jalan raya yang mulai padat dan tidak efektif. Akankah kenangan usang Marsudi, Djauhari, dan Mas'ud hidup kembali?

(MOHAMAD FINAL DAENG)

Sumber: Harian KOMPAS Edisi Yogyakarta, Sabtu, 2 Oktober 2010

Tidak ada komentar: